Ilustrasi awal mula tren ‘meromantisisasi’ kondisi mental di media sosial. Foto: Getty Images/iStockphoto/shaunl
Jakarta – Media sosial diramaikan obrolan seputar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder).Tak sedikit warganet yang mengklaim, dirinya mengidap ADHD lantaran memiliki kecenderungan susah fokus ketika beraktivitas sehari-hari. Padahal, ADHD adalah kondisi yang memerlukan diagnosis dari profesional, tak bisa sembarang ditebak-tebak oleh awam.
Dalam salah satu unggahan yang viral, seorang penggunan medsos membagikan sudut pandangnya (Point of View atau PoV). Ia menggambarkan, hidup dengan ADHD membuatnya serba impulsif ketika beraktivitas sehari-hari, misalnya tak bisa menahan keinginan untuk menyentuh benda-benda di sekitar ketika sedang berjalan kaki.
Menengok kebelakang, ini bukan kali pertama bahasans eputar diagnosis kondisi mental menggema di duniamaya. Sebelumnya, sempatjugaramai orang-orang yang mengklaimdirinyasebagaipengidap OCD (Obsessive Compulsive Disorder) gegararajinbersih-bersih. Padahal, pengertian OCD sebenarnya tak sesimpel itu.
“Ini terjadi ketika pandemi sehingga lebih ada banyak waktu, browsing lebih banyak, tadinya dia nggak terpikir tentang kesehatan mental akhirnya mulai ‘kenapa ya aku merasa seperti ini?’,” ungkap Liza dalam siaran detik Pagi, Jumat (9/6/2023).
“Semua itu gampang banget didapat, tapi kemudian sayangnya langsung mendiagnosa diri sendiri dan yakin banget itu dia. Mulailah kemudian yang lebih parah lagi mencari obat-obatan sendiri, dan ini berbahaya sebenarnya,” sambungnya.
Di samping itu Liza juga mengingatkan pentingnya pengecekan kondisi mental, tak lain dengan memeriksakan diri ke profesional jika memang mengalami gejala tertentu. Sebab pada kebanyakan kasus yang ditanganinya, gejala orang dengan kondisi mental umumnya adalah hasil ‘menumpuk’ bertahun-tahun, bukan gejala yang tiba-tiba muncul.
“90 persen orang yang datang ke saya itu biasanya gejala yang mereka bawa keruang praktik itu hasil penumpukan. Nggak pernah ada masalah psikologis terjadi ujug-ujug, tiba-tiba, itu nggak ada,” beber Liza.
“Itu menumpuk dari masa kecil, pola asuh, dari trauma, dari bully, numpuk-numpuk kemudian tantangan hidup semakin besar, interaksi sosial semakin luas yang tadinya hanya di rumah sekarang di kantor, itu biasanya rentan terjadi konflik,” pungkasnya.
VidyaPinandhita