Jakarta – Baru saja muncul tren quiet quitting, kini muncul lagi tandingannya yakni quiet firing. Jika quiet quitting dilakukan karyawan yang merasa jenuh dengan pekerjaan, quiet firing di sisi lain dilakukan perusahaan atau atasan untuk menekan karyawan.
Pada dasarnya, keduanya sama-sama mengindikasikan komunikasi yang tidak sehat dan berisiko memicu stress dalam jangka panjang. Dengan kata lain, sama-sama toksik.
Namun demikian, seorang manajer rekrutmen di Seattle, Bonnie Dialber menilai quiet firing lebih umum terjadi dan lebih perlu dibicarakan dibanding quiet quitting. Diam-diam ‘memecat’ atau tepatnya memaksa resign karyawan juga kerap dikaitkan dengan manajemen yang buruk.
Beberapa tanda seseorang diam-diamd ipaksa resign menurut Dial berada lah tidak pernah menerima feedback atau pujian, menerima kenaikan gaji lebih rendah dari yang lain, dan kerap dipindah-pindah. Tanda-tanda lain adalah tidak pernah dilibatkan dalam project yang besar dan tidak pernah mendapat informasi penting.
Situasi tersebut, pada akhirnya membuat seseorang merasa tidak kompeten, terisolasi, kurang diapresiasi, dan pada akhirnya berpikir untuk pindah kerja. Bagi perusahaan, hal ini menguntungkan karena tidak harus memikirkan kompensasi atau semacam pesangon.
“Atau kinerja Anda akan cukup turun karena kurang support dana akhirnya mereka dapat melepas Anda,” jelas Dilber dikutip dari NY Post.
Di sisilain, tren quiet quitting juga meningkat di kalangan pekerja. Sebuah unggahan viral di media sosial mengajak karyawan untuk menormalisasi perilaku tidak membalas pesanatasan di luar jam kerja.
“Yuk bisa yuk quite quitting,” tulis salah satu pengguna Twitter menanggapi unggahan tersebut.
Pada prinsipnya, quiet quitting adalah memberikan batasan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi atau dengan kata lain kerja seperlunya saja.
Di satu sisi, hal ini penting untuk kesehatan mental dalam kaitannya dengan work-life balance. Namun di sisi lain, kerap kali hal ini dilakukan dengan semangat melepas tanggung jawab, yang pada akhirnya memberi beban lebih pada rekan kerja yang lain.
Selain itu, psikolog klinis dan Co-Founder Ohana Space Veronica Adesla juga menyinggung dampak Quiet Quitting pada perkembangan karier seseorang. Terlalu membatasi pekerjaan bagaimana pun dapat membuat seseorang kehilangan kesempatan untuk belajar banyak.
“Apabila quite quitting diartikan sebagai membatasi diri hanya untuk melakukan pekerjaan yang menjadi jobdesknya tanpa mau mengembangkan diri lebih, belajar hal baru, danter libat lebih atau pun memberikan kontribusi lebih untuk perusahaan melalui ide-ide pemikiran mau pun peningkatan kompetensi yang dimiliki maka hal ini dapat berdampak pada kariernya dalam jangka panjang,” beber Vero.
Komunikasi menjadi satu-satunya solusi paling ideal untuk mengatasi baik quiet quitting maupun quiet firing. Jika dirasa beban kerja memang berlebihan, bukan kanakan lebih baik jika disampaikan lalu di diskusikan?
Anuyung Pramudiarja